Pensiunan Satpam Buka Taman Baca untuk Anak Miskin

May 3, 2025

Di tengah lalu lintas yang bising dan debu jalanan ibu kota, ada sebuah warung kecil di pinggiran Jakarta Timur yang setiap pagi ramai pembeli. Warung itu sederhana, beratap seng, dan hanya punya tiga bangku plastik. Tapi dari tempat kecil itulah, mg 4d sebuah kisah besar bermula—kisah tentang Aulia Rahma, gadis pemilik masa lalu penuh keterbatasan, namun kini menjadi salah satu insinyur perangkat lunak di perusahaan teknologi raksasa di Silicon Valley.

Mengharukan: Lahir dari Keterbatasan, Berjuang Tanpa Menyerah

Aulia lahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Ibunya menjual nasi uduk sejak subuh, sementara ayahnya bekerja serabutan sebagai tukang servis kipas angin dan blender. Mereka tinggal di kontrakan sempit dengan dinding triplek, dan harus hemat listrik agar tak menunggak.

Sejak kecil, Aulia sudah tahu artinya hidup susah. Ia membantu ibunya mencuci beras, membungkus pesanan, bahkan mengantar nasi uduk ke tetangga sebelum berangkat sekolah. Uang jajan tak pernah lebih dari seribu rupiah. Sepatu sekolahnya adalah warisan dari kakaknya, dan buku-bukunya dibeli dari loakan.

Namun, di tengah segala kekurangan itu, Aulia punya satu kekuatan: rasa ingin tahu yang besar, terutama soal komputer dan teknologi.

“Saya ingat pertama kali pegang komputer itu di warnet. Saya main game edukasi, dan sejak itu jatuh cinta pada layar itu. Rasanya seperti jendela ke dunia lain,” ujarnya sambil tersenyum mengenang masa kecil.

Menggugah: Belajar Coding dari Buku Bekas dan Warnet

Aulia tahu bahwa ia tidak bisa membeli laptop. Maka ia rajin ke warnet dan menyimpan uang jajannya untuk menyewa komputer satu jam sehari. Di sana, ia membaca tutorial pemrograman, menonton video coding, dan mengunduh PDF buku komputer.

Ia menulis kode program di kertas sebelum bisa mencobanya di komputer. Ia bahkan pernah menulis algoritma sederhana dalam buku matematika sekolahnya, disangka corat-coret oleh gurunya.

Melihat semangat Aulia, seorang guru TIK di SMP-nya memberikan pinjaman netbook bekas. Dari situlah ia mulai belajar membuat program kecil-kecilan: kalkulator, aplikasi pengingat belajar, dan bahkan game sederhana.

Di SMA, Aulia mengikuti lomba aplikasi tingkat kota dan menang, walau saat presentasi ia hanya punya satu pasang seragam, dan memakai sepatu tambal dua warna. Tapi ia tak peduli. Karyanya berbicara lebih lantang dari penampilannya.

“Saya tidak punya modal uang. Tapi saya punya mimpi, dan kemauan keras untuk belajar,” katanya.

Menginspirasi: Beasiswa ke Amerika dan Perjuangan di Negeri Orang

Usaha keras Aulia membuka pintu ke dunia. Ia lolos seleksi beasiswa penuh ke salah satu universitas ternama di Amerika Serikat untuk jurusan Computer Science. Saat pengumuman diterima, ibunya menangis sambil memeluk wajan.

“Saya cuma bisa masak nasi uduk. Tapi anak saya bisa ke Amerika. Saya tidak mengerti komputer, tapi saya percaya dia luar biasa,” ucap sang ibu sambil tertawa haru.

Di negeri asing, Aulia menghadapi tantangan baru: bahasa, budaya, hingga rasa rindu kampung halaman. Tapi ia tetap bertahan. Ia bekerja paruh waktu sebagai pustakawan kampus, sambil terus mengasah keterampilan coding dan mengikuti berbagai kompetisi inovasi.

Ia sempat dikira “anak magang” oleh dosennya karena wajahnya yang polos dan logat Indonesianya yang kental. Tapi semua itu berubah saat ia memenangkan penghargaan “Best Student Developer” di ajang internasional.

Proyek aplikasinya—sebuah platform pembelajaran gratis berbasis AI untuk pelajar dari keluarga kurang mampu—mendapat perhatian dari beberapa perusahaan teknologi besar.

Dan dua bulan setelah lulus, Aulia resmi bergabung sebagai software engineer di salah satu perusahaan teknologi top dunia di Silicon Valley.

Menghebohkan: Bantu Anak Indonesia Lewat Teknologi

Alih-alih menikmati hidup glamor sepenuhnya, Aulia tetap ingat dari mana ia berasal. Dengan gajinya yang cukup besar, ia membiayai sekolah dua adiknya, membelikan rumah kecil untuk ibunya, dan—yang paling mengejutkan—mendirikan platform belajar online gratis bernama “NasiKoding”.

Platform itu berisi video pembelajaran, latihan coding, dan mentor gratis bagi siswa dari keluarga menengah ke bawah yang ingin belajar IT. Dalam satu tahun, NasiKoding sudah menjangkau lebih dari 120.000 pelajar dari Sabang sampai Merauke.

Aulia juga aktif dalam komunitas teknologi perempuan, mendorong lebih banyak gadis muda Indonesia untuk berani masuk dunia STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).

Kisahnya viral di media sosial. Ia diundang ke berbagai forum teknologi dunia. Namun ia tetap rendah hati.

“Saya hanya anak warung yang bisa coding. Saya percaya teknologi harus memanusiakan manusia, bukan sekadar mengejar cuan,” katanya dalam pidato di acara Women in Tech Global Summit.

Penutup: Mimpi Tak Harus Lahir di Ruang Ber-AC

Kisah Aulia adalah bukti bahwa tempat lahir tidak menentukan tempat akhir. Bahwa layar komputer bisa menjadi jendela harapan, bahkan bagi anak penjual nasi uduk di gang sempit Jakarta.

Ia mengajarkan bahwa mimpi besar bisa tumbuh dari warung kecil. Bahwa tekad bisa lebih kuat dari keterbatasan. Bahwa satu jam di warnet bisa jadi awal perjalanan ke panggung dunia.

Dan kini, ketika Aulia duduk di kantor megah di San Francisco, dikelilingi oleh insinyur dari seluruh dunia, ia tahu satu hal: ia membawa warung kecil itu bersamanya, dalam setiap baris kode yang ia tulis—sebagai bentuk cinta, dedikasi, dan penghargaan pada asal usulnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *